Senin, 14 Maret 2011

6. Manusia dan Tanggung Jawab

Seorang Suami Yang Bertanggung Jawab Terhadap Istri

                 Pernikahan berasal dari kata nikah yang dalam bahasa Arab berarti 'perjanjian'. Layaknya sebuah perjanjian, pernikahan pun menyertakan syarat berupa hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh sepasang suami dan istri. Dalam agama Islam, peraturan tersebut biasanya tercantum dalam buku nikah kedua pengantin.
                  Sebuah pernikahan akan langgeng jika sepasang suami istri saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing. Selain kedua hal paling mendasar tersebut, hak dan kewajiban, tanggungjawab menjadi hal yang harus dipenuhi. Terlebih, tanggungjawab bagi para suami. Dalam pernikahan, idealnya, tanggung jawab suami memang jauh lebih besar daripada tanggungjawab yang harus dipikul istri. Jika diibaratkan alfabet, suami adalah huruf A, yang mudah-mudahan sampai kapan pun akan tetap menjadi huruf pertama dari 25 huruf lainnya. Ia adalah pemimpin. Memimpin ke-25 huruf lainnya. Begitupun, dalam berumah tangga, suami adalah pemimpin. Memimpin istri dan calon anak-anak yang nantinya akan semakin melengkapi deretan alfabet, bahkan mungkin hingga Z.

Tanggung jawab Ideal Seorang Suami

1. Memenuhi Kebutuhan Keluarga

                Ketika seorang lelaki mengajak pasangannya menikah, hal itu dapat diartikan bahwa lelaki tersebut siap menjalankan tanggung jawab sebagai seorang suami. Ia siap memeras keringat untuk menafkahi istrinya secara lahiriah dan menyediakan berbagai keperluan istrinya. Dari situlah, muncul istilah bahwa suami adalah tulang punggung bagi keluarga. Ia berperan sebagai penopang agar sesosok tubuh dapat berdiri tegak, selayaknya tulang punggung.

2. Menjaga Istri

                 Istri adalah perhiasan keluarga. Setidaknya, itulah yang sering disyiarkan para ulama ketika berdakwah. Hal itu nyatanya memang tidak terlalu salah. Istri bisa membuat sebuah keluarga menjadi lebih manis, lebih indah. Tanggungjawab suami terhadap hal tersebut adalah menjaganya. Menjaga agar perhiasan tersebut tetap memancarkan keindahan. Menjaga perhiasan keluarga agar tidak dimiliki orang lain.

3. Menjadi Pemimpin yang Baik

                 Seorang pemimpin ideal dengan berbagai sikap yang bijak dan arif. Seorang suami sudah sepantasnya memiliki sifat-sifat tersebut. Jadilah pemimpin yang bijak, menasihati dengan cara yang baik bila istri melakukan hal-hal yang dianggap tidak pantas. Jauhkan sifat-sifat diktator dengan memperlakukan seorang istri secara tidak semestinya.

4. Menjadi Teladan Keluarga

                   Seorang pemimpin yang baik, secara langsung, akan dihormati oleh para pengikutnya. Gambaran seperti itu terlihat pas bila diaplikasikan pada kehidupan berumah tangga. Jika seorang suami telah dihormati, secara otomatis ia akan menjadi sosok teladan bagi istri dan anak-anaknya. Jika sudah demikian, bukan tidak mungkin sosok idola anak-anak Anda adalah ayahnya sendiri.
Seorang suami bertanggung jawab mencari nafkah
Seorang suami mendapatkan tanggung jawab finansial dalam rumah tangga. Segala kebutuhan ekonomi yang muncul setelah terjadinya pernikahan, menjadi tanggung jawab suami untuk memenuhinya. Oleh karena itu, seorang suami yang tidak mau bekerja mencari nafkah sehingga tidak bisa memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anak, ia telah melanggar kewajiban agama. Islam meletakkan kewajiban mencari nafkah pada suami, sesuai dengan pembagian peran yang digariskan Allah Ta’ala:
“…dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (An Nisa’ : 34).
Jabir bin Abdullah berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Dan kamu wajib memberi nafkah kepada mereka (isteri) dan memberi pakaian secara makruf” (Riwayat Muslim).
Ibnu Mundzir berpendapat, “Para ulama telah bersepakat atas kewajiban suami memberi nafkah kepada isteri, apabila ia telah mencapai usia baligh, kecuali isterinya nusyuz. Tidak ada suatu yang dapat menggugurkan kewajiban suami memberikan nafkah kepada isteri selain nusyuz. Adapun sakit, haidh, nifas, puasa, haji, suami pergi, dan suami dipenjara karena kebenaran atau karena kejahatan, maka semua itu tidak menggugurkan kewajiban nafkah”.
Suami harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kewajiban mencari rizki Allah di muka bumi, karena berbarengan dengan adanya kehidupan, Allah telah pula memberikan sumber-sumber penghidupan. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisyaratkan :
“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu itu (sumber) penghidupan” (Al A’raf : 10).
Pernah suatu ketika Rasulullah ditanya seseorang, “Ya Rasulullah, pekerjaan apa yang terbaik ?” Maka beliau menjawab :
“Pekerjaan yang terbaik adalah usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang baik” (Riwayat Ahmad, Baihaqi dan lain-lain).
Khalifah Umar bin Khathab ra pernah berkata, ”Jangan sekali-kali seseorang di antara kamu hanya duduk-duduk saja dan tidak berusaha untuk mencari rizki dan hanya berdoa : ‘ Ya Allah berilah hamba rizki !’ Tahukah kamu, dan semua telah tahu bahwa langit itu tak akan menurunkan hujan berupa emas atau perak .”
Hal ini karena Islam tidak menghendaki kemalasan dan kejumudan. Justru Islam sangat mendorong umatnya agar senantiasa aktif, dinamis, bergerak melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Ibnu Mas’ud ra pernah berkata, “Saya benar-benar benci kalau melihat orang hanya menganggur saja, tak berusaha untuk kepentingan dan urusan keduniaannya dan tidak pula berusaha untuk akhirat.”
Imam Ahmad bin Hambal pernah ditanya, “Bagaimana pendapat anda mengenai seseorang yang hanya duduk di rumah atau di masjid dan dia berkata : ‘Saya tidak mengerjakan sesuatu apapun, sehingga rizkiku akan datang nanti dengan sendirinya.’ Imam Ahmad menjawab, “Orang tersebut sangat bodoh dan tak mengerti ilmu agama sama sekali. Apakah orang yang demikian itu tak mendengar sabda Nabi : ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rizkiku terletak di bawah tombakku.”
Selanjutnya Imam Ahmad menambahkan, “Juga apakah orang tersebut tidak mendengar sabda Rasulullah saw ketika beliau menyebutkan perihal cara burung mencari kehidupannya, dan mengatakan : ‘Berangkat pagi-pagi dengan perut kosong dan pulang sore-sore dengan perut kenyang’ (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah). Seorang suami yang penuh rasa cinta, tentu saja dalam mencari rizki hanyalah yang halal, dengan cara yang halal serta menjauhi berbagai sumber yang diharamkan. Ia tidak akan mau memasukkan sesuatu yang haram dan syubhat ke dalam rumahnya, sehingga akan menjadi konsumsi bagi isteri dan anak-anaknya. Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, ia mendengar Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas dan perkara yang haram juga jelas dan diantara keduanya ada perkara mutasyabihat yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia, barangsiapa yang bisa menjaga diri dari perkara syubhat maka telah menyelamatkan agama dan kehormatannya, dan barangsiapa yang terjatuh dalam perkara syubhat telah terjatuh dalam perkara haram seperti penggembala yang menggembala di dekat tanah larangan yang sesaat lagi gembalanya akan amsuk ke tanah larangan tersebut, ketahuilah setiap raja itu punya tanah larangan, ketahuilah larangan Allah adalah perkara yang diharamkanNya, ketahuilah di dalam jasad itu ada segumpal daging, jika baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika jelek maka jeleklah seluruh jasad, ketahuilah daging tersebut adalah hati” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Pengarahan Nabi saw di atas memberikan ketegasan bahwa hal yang halal telah jelas dan yang haram juga telah jelas. Oleh karena itu para suami hendaknya bisa menjauhi hal yang telah jelas-jelas diharamkan, dengan mengambil hanya yang halal saja. Di sisi lain, hendaknya para suami berhati-hati terhadap sesuatu yang syubhat, karena berada pada wilayah antara, yaitu antara halal dan haram.
                Suami yang dipenuhi rasa cinta meyakini bahwa Islam melarang berkembangbiaknya riba, penipuan, pemalsuan timbangan, perjudian, dan berbagai bentuk kecurangan dalam berusaha. Misalnya, Allah memberikan celaan terhadap perilaku kecurangan dalam timbangan:
“Celakalah bagi orang-orang yang curang, apabila ia menerima takaran dari orang lain (untuk dirinya sendiri) meminta supaya dipenuhi, tetapi apabila menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi” (Al Muthaffifin: 1-3).
                 Imam Al Ghazali memberikan perhatian khusus mengenai larangan melakukan penipuan dalam mengembangkan usaha, dengan menyatakan, “Segala hal yang menyebabkan timbulnya sesuatu yang merugikan orang lain dalam berinteraksi ekonomi adalah penganiayaan. Janganlah seseorang memuji dagangan yang dimilikinya dengan pujian yang baik-baik padahal ia tahu ada cacat di dalam dagangan tersebut. Janganlah seseorang itu bersumpah dengan menyebutkan nama Allah padahal antara sumpah dan realitanya justru berkebalikan. Hal ini adalah termasuk dosa yang besar. Ingatlah akan sabda Rasulillah saw, “Sumpah palsu itu merusakkan dagangan dan melenyapkan keberkahan pekerjaan.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
                Suami yang tidak memiliki cinta dalam hatinya, akan cenderung mencari nafkah dengan nafsu keserakahan. Ia mengumpulkan harta dengan menghalalkan segala cara, tidak mempedulikan apakah harta tersebut halal atau haram, tidak peduli apakah akan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau tidak. Yang dipikirkan hanyalah mengumpulkan harta, bisa menyenangkan hati isteri dan anak-anaknya. Bahkan pada sebagian kalangan ada yang sempat berpikir, “Mencari harta yang haram saja susah, apalagi yang halal”.
Cinta yang suci, yang keluar dari jiwa yang bersih, tidak akan melakukan tindakan yang dibenci Allah. Seorang suami akan berpikir jernih dalam mencari penghasilan, ia tidak akan tega memasukkan bara api neraka ke dalam perut anak-anak dan isterinya, justru karena ia mencintai mereka semua. Lihatlah contoh keteladanan dari seorang Khalifah Rasyidah Umar bin Abdul Aziz. Ketika bertemu dengan putra-putrinya, Umar bin Abduil Aziz berpesan, “Anak-anakku sayang, aku ingin meninggalkan warisan yang banyak supaya kalian hidup berkecukupan dan bergelimang dalam kenikmatan. Namun aku yakin bahwa kalian tidak akan rela bergelimang kenikmatan, sedangkan ayah kalian kesulitan mempertanggungjawabkan di peradilan Allah kelak atas semua yang ayah wariskan untuk kalian.” Kebaikan diri Khalifah Umar telah tertanam dengan amat kuat pada seluruh keluarga, istri dan anak-anaknya. Pada suatu malam selepas Isya, Umar memasuki kamar putri-putrinya. Segera mereka berpura-pura memasukkan tangan ke mulut, dan cepat-cepat pergi. Umar merasa sikap putri-putrinya itu tidak seperti biasa. Segera ia memanggil pembantunya. “Mengapa mereka meninggalkan kamarnya?” tanya Khalifah Umar. “Karena mereka tidak mempunyai makanan selain makanan orang awam, yaitu kacang adas dan bawang, dan mereka tidak ingin anda mengetahui hal itu,” jawab sang pembantu.
                  Mendengar penuturan itu, Umar menangis. Ia berkata, “Wahai putri-putriku, apalah artinya kalian memakan bermacam-macam makanan yang lezat kalau nantinya bisa mengantarkan ayah kalian ke lembah api neraka.” Mendengar ungkapan Khalifah, putri-putri beliau pun menangis terharu, merasakan berat tanggung jawab ayah mereka sebagai penguasa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar