Senin, 18 April 2011

Tarian Gandrung



               Tarian Gandrung adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi. Namun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung. Menurut catatan sejarah, gandrung pertama kalinya ditarikan oleh para lelaki yang didandani seperti perempuan dan, menurut laporan Scholte (1927), instrumen utama yang mengiringi tarian gandrung lanang ini adalah kendang. Pada saat itu, biola telah digunakan. Namun demikian, gandrung laki-laki ini lambat laun lenyap dari Banyuwangi sekitar tahun 1890an, yang diduga karena ajaran Islam melarang segala bentuk transvestisme atau berdandan seperti perempuan. Namun, tari gandrung laki-laki baru benar-benar lenyap pada tahun 1914, setelah kematian penari terakhirnya, yakni Marsan. Menurut sejumlah sumber, kelahiran Gandrungditujukan untuk menghibur para pembabat hutan, mengiringi upacara minta selamat, berkaitan dengan pembabatan hutan yang angker.[3]

                Gandrung wanita pertama yang dikenal dalam sejarah adalah gandrung Semi, seorang anak kecil yang waktu itu masih berusia sepuluh tahun pada tahun 1895. Menurut cerita yang dipercaya, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi (Mak Midhah) bernazar seperti “Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing” (Bila kamu sembuh, saya jadikan kamu Seblang, kalau tidak ya tidak jadi). Ternyata, akhirnya Semi sembuh dan dijadikan seblang sekaligus memulai babak baru dengan ditarikannya gandrung oleh wanita. Tradisi gandrung yang dilakukan Semi ini kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan Gandrung sebagai nama panggungnya. Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari gandrung sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan gandrung yang mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tari Gandrung Lombok

           Tari Gandrung merupakan salah satu tarian rakyat di Lombok. Dengan pola tarian yang tidak mengikuti pola gerak serta iringan lagu yang sesuai dengan patokan lazimnya, tari Gandrung dikatakan luar biasa. Menurut sejarahnya, konon tari Gandrung lahir dari suatu keadaan saat tersedia perangkat gamelan yang baru selesai digunakan dalam sebuah upacara resmi. Para prajurit keraton melihat kesempatan ini untuk bergembira ria dan mencoba memainkan alat tersebut secara seadanya. Seseorang lalu maju untuk menggerakkan tubuhnya dengan santai dalam suasana kerakyatan tidak dibatasi protokoler istana yang serba teratur.

             Tarian kemudian berlanjut dengan pergantian penari-penari secara spontan. Saat pergantian itu, penari saling menepuk yang kemudian diartikan minta diganti penari lain untuk melanjutkan kegembiraan tersebut. Kegiatan ini kemudian mendapat perhatian kalangan istana, yang dalam perkembangannya dimanfaatkan untuk menghibur para bangsawan beserta tamunya.

                 Karena mulai memasuki areal para bangsawan, kegiatan menari ini mulai diberi sentuhan yang tentu saja penuh aturan etika, estetika, dan tata krama, bukan bergoyang sembarangan tanpa memperhatikan kesopanan. Gerak tubuh para penarinya inilah yang kemudian menjadikannya sebagai sebuah tarian yang disebut tari Gandrung. Dalam perkembangan berikutnya, tari Gandrung mulai masuk pada masyarakat Lombok sebagai kesenian rakyat. Sejak itulah kegiatan yang akhirnya dikenal dengan pertunjukan Gandrung ini menjadi kesenian bagi rakyat Lombok. Namun, sekarang menurut Lalu Suryadi Mulawarman, koreografer kenamaan NTB, tari Gandrung telah mengalami pergeseran nilai, etika, dan estetika. Menurut pengamatan koreografer lulusan IKJ Jakarta ini, gerakan tari Gandrung sekarang tampak dibuat erotis dan sensual dengan goyangan pinggang yang dibuat berlebihan. ”Tampak gerakan tari Gandrung di Lombok sekarang dipaksakan erotis dan sensual,” ujarnya. Di kalangan generasi sekarang, esensi tari Gandrung itu bisa dikatakan telah hilang, hanya yang berbentuk fisik yang masih terlihat.

Padahal, lanjutnya, aslinya tiap gerakan tari Gandrung gerak tradisi, gerak kecil-kecil seadanya sesuai kebutuhan namun tetap memenuhi unsur estetika dan penuh etika. ”Bahkan dalam tari Gandrung yang asli ada yang memakai ritual khusus sebelum digelar,” ujarnya. Banyak yang tidak paham bahwa ada nilai-nilai dan filosofi yang terkandung dalam tari Gandrung, terutama nilai sosial dan kesopanan, karena tari Gandrung merupakan tari pergaulan.

              Hal inilah yang membuat tari Gandrung sempat menjadi kontroversial di Lombok. ”Di Lombok Timur, tari Gandrung sempat dilarang digelar, dulu,” ungkap Suryadi. Yang menarik dicermati justru masing-masing kelompok tari Gadrung di Lombok memiliki versi berbeda-beda sesuai dengan karakter pelatihnya. Dalam tari Gandrung Lombok pengaruh Bali dan transformasi Jawa –Banyuwangi- sangat kuat, kata Suryadi Mulawarman. Terjadi persinggungan yang kuat antara tiga etnis ini termasuk musiknya. Bagi masyarakat Lombok, tari Gandrung merupakan pilihan ”terbaik” untuk acara-acara seremonialnya, karena melibatkan masyarakat untuk ikut menari. Ada kebanggaan bagi masyarakat ketika ikut menari bersama penari Gandrung. Menari bersama ini dinamakan ngibing yang dalam bahasa Sasak berarti menari. Orang yang ngibing disebut pengibing. Dalam tiap upacara tradisi masyarakat Lombok, kehadiran Gandrung menjadi penting. Tiap ada pergelaran tari Gandrung, masyarakat akan datang berbondong-bondong menyaksikannya dalam arena yang dipenuhi penonton yang melingkar. Aslinya tarian dilaksanakan di arena datar, di bawah bukan di panggung, dengan penonton yang melingkari penari. Bagi masyarakat di desa-desa di Lombok, Gandrung adalah hiburan yang penting. ”Masyarakat yang datang biasanya berebut ingin di-tepek dan diberi kipas sang penari,” kata Suryadi. Sejauh ini, menurut Ketut Swastika, koreografer lainnya yang juga menjadi pelatih Gandrung, tari ini di Lombok masih tetap eksis hingga sekarang. Tari ini merupakan kesenian yang diwarnai pemberian tips pengibing kepada penarinya. Pergelaran di perdesaan bisa semalaman. ”Dalam semalam, penari Gandrung bisa mendapatkan tips hingga Rp 300.000 tiap orang,” ujarnya. Selain sebagai kesenian rakyat untuk memeriahkan acara atau upacara tradisional seperti perkawinan adat dan khitanan, tari Gandrung di Lombok juga berkembang untuk mengisi acara-acara resmi di kota sebagai penghibur tamu. Pada kesempatan inilah, tarian Gandrung biasanya diolah lagi disesuaikan dengan kebutuhan, kata Ketut Swastika. Tari Gandrung bisa ditarikan sendiri atau beberapa orang yang terdiri atas tiga babak yakni bapangan, gandrangan dan parianom. Babak bapangan merupakan babak pembuka, penari digambarkan sedang memperkenalkan diri pada penonton dengan menari mengitari arena sampai selesainya gending pengiringnya yang disebut bapangan. Dalam babak gandrangan penari dengan gerak yang lebih lincah mengitari arena dengan kipas di tangan, melirik, mencari dan mengincar pengibing, terutama penonton yang berada di bangian depan. Penari akan melemparkan kipas ke arahnya jika pengibing yang diharapkan tidak dapat dijangkaunya. Yang terkena sentuhan atau lemparan kipas harus maju menari bersamanya. Babak ketiga yang disebut parianom, merupakan perpanjangan bagian kedua. Gending pengiringnya yang disebut parianom tidak menggunakan seluruh instrumen orkestra Gandrung namun hanya redep dan suling yang dibantu suara gendang, petuk, dan rincik. Dalam pergelaran resmi, tari Gandrung dilakukan secara lengkap dalam tiga babak. Namun, dalam pergelaran di pedesaan, ujar Ketut Swastika, sekarang banyak tidak menerapkan ketiga babak lengkap karena dianggap terlalu lama untuk menanti babak yang paling dinanikan yakni tampilnya pengibing. Ketut Swastika menjelaskan, di Lombok, penari Gandrung yang berada di desa-desa umumnya penari turun temurun. Di perkotaan lebih banyak ditarikan penari profesional. Gandrung tersebar di beberapa desa, seperti di Gerung Butun, Dasan Tereng dan Narmada Lombok Barat, Lenek di Lombok Timur. - nik